Kusebut
diriku apakah?
Batu?
Nyatanya aku tak sekeras batu. Aku tak setegar batu kala
hujan atau angin menghempas ku.
Air?
Tidak juga.
Aku tak seluwes air. Aku tak pandai menari seindah air
menarikan alirannya.
Atau angin ?
Rasanya aku juga tak mirip dengan angin. Hidup ku tak
selembut desahan sejuknya.
Begini saja,
ku sebut diriku ini Pohon.
Akar yang kekar akan menahan jiwa ku saat hujan atau
angin menghantamku.
Aku ingin menjadi Pohon.
Pohon yang lebih tegar dari batu, Pohon yang bisa
menarikan daunnya seluwes air menarikan alirannya.
Pohon yang bisa membisikkan angin sejuknya.
Pohon yang bisa menjadi payung teduh bagi tanah dimana Ia
tumbuh.
Hanya saja aku masih ragu.
Jika aku sebatang Pohon, maka dimanakah tanah yang harus
ku pijak? Agar akar-akar ku bisa sekokoh batu, tarian daun ku bisa seluwes air dan
mampu mendesahkan angin sejuknya.
Dimanakah?
Di Laut kah?
Atau malah di Gunung?
Jika Pohon ini tumbuh di Laut,
Kupikir anginnya dapat bernyanyi luwes dengan ombak Laut.
Harmoni alam termerdu.
Namun, Pohon hanya dapat tumbuh ditepinya saja. Ia selalu
takut ombak Laut suatu hari tak lagi datang dan tak dapat beryanyi bersama
nyanyian sang Pohon. Meninggalkannya sendiri di tepian pantai.
Sedangkan Gunung?
Hm, ku pikir jika Pohon ditempatkan di Gunung, maka Ia
akan tumbuh teduh.
Gunung selalu merangkulnya erat.
Tapi Gunung selalu membuat Pohon ini merasa kecil, pendek
dan mungkin tak punya arti. Karena Gunung selalu punya banyak tumbuhan selain Pohon.
Membuat Pohon merasa seperti tak dimilki.
‘00:00’