Sabtu, 18 Januari 2014

kisah baru

-         Kini, sudah tak ada lagi kisah tentang si Kereta, si Gunung atau si Laut, yang ada hanya kisah tentang seorang pria di ujung pulau sana yang kini namanya selalu ada dalam setiap ujung do’aku. Pria yang ku tahu berhati hangat dan mempunyai mimpi. Pria yang langsung bisa membuat ku nyaman saat pertama kali bicara dengannya dan akan selalu membuat ku nyaman ketika aku bercerita dengannya. Membagi ceritaku, ceritanya..
Anehnya, aku merasa sudah mengenalnya sejak dulu, dulu sekali. Tuhan, boleh aku minta satu hal? Tolong jaga dia, jaga hatinya.
Nanti, aku tak ingin ada kisah lagi meski ku tahu ini masih teka-teki. 
-Widi-

Minggu, 02 Juni 2013

K O P I

Kopi?
Hitam, berampas, pahit, kesan ‘tua’, pokoknya gak enak.
Begitulah deskripsi saya dulu pada secangkir kopi. Minum kopi berarti sama dengan tua karena kopi biasanya dinikmati oleh ‘embah-embah’. Atau, minum kopi berarti sama dengan ada hal yang harus saya kerjakan (baca: tugas) sampai larut malam hingga saya harus menenggak secangkir kopi demi mata bisa melek sampai pagi.
Tapi, sekarang berbeda. Paradigma saya tentang kopi lambat laun bergeser. Sekarang kopi tak harus berarti hitam, berampas, pahit, kesan ‘tua’ dan gak enak. Deskripsi saya tentang minuman ini sekarang berubah. Kopi itu modern dan memberi saya kesan maskulin. Bukan gaya hidup tinggi (karena kopi yang saya nikmati bukan kopi-kopi yang menawarkan merk dan tempat nongkrong saja) tapi menikmati hidup lebih tinggi dengan satu cangkir kopi. Singkatnya sejuta kata untuk satu cangkir kopi.
Ada dua cara menikmati minuman yang sekarang menjadi salah satu simbol kehidupan kota ini. Pertama, diminum selagi panas namun resikonya akan cepat habis. Atau yang kedua, dinikmati pelan-pelan namun resikonya keburu dingin dan gak enak. See? Mana cara mu? J


-faradika-

Jumat, 31 Mei 2013

n'importe qui

siapapun di sana, .
jemput aku di sini.

Sebatang Pohon

Kusebut diriku apakah?
Batu?
Nyatanya aku tak sekeras batu. Aku tak setegar batu kala hujan atau angin menghempas ku.
Air?
Tidak juga.
Aku tak seluwes air. Aku tak pandai menari seindah air menarikan alirannya.
Atau angin ?
Rasanya aku juga tak mirip dengan angin. Hidup ku tak selembut desahan sejuknya.

Begini saja,
ku sebut diriku ini Pohon.
Akar yang kekar akan menahan jiwa ku saat hujan atau angin menghantamku.
Aku ingin menjadi Pohon.
Pohon yang lebih tegar dari batu, Pohon yang bisa menarikan daunnya seluwes air menarikan alirannya.
Pohon yang bisa membisikkan angin sejuknya.
Pohon yang bisa menjadi payung teduh bagi tanah dimana Ia tumbuh.
Hanya saja aku masih ragu.
Jika aku sebatang Pohon, maka dimanakah tanah yang harus ku pijak? Agar akar-akar ku bisa sekokoh batu, tarian daun ku bisa seluwes air dan mampu mendesahkan angin sejuknya.
Dimanakah?
Di Laut kah?
Atau malah di Gunung?

Jika Pohon ini tumbuh di Laut,
Kupikir anginnya dapat bernyanyi luwes dengan ombak Laut. Harmoni alam termerdu.
Namun, Pohon hanya dapat tumbuh ditepinya saja. Ia selalu takut ombak Laut suatu hari tak lagi datang dan tak dapat beryanyi bersama nyanyian sang Pohon. Meninggalkannya sendiri di tepian pantai.

Sedangkan Gunung?
Hm, ku pikir jika Pohon ditempatkan di Gunung, maka Ia akan tumbuh teduh.
Gunung selalu merangkulnya erat.
Tapi Gunung selalu membuat Pohon ini merasa kecil, pendek dan mungkin tak punya arti. Karena Gunung selalu punya banyak tumbuhan selain Pohon. Membuat Pohon merasa seperti tak dimilki.


‘00:00’


'rumah singgah'

Ada orang-orang yang kita sebut keluarga, mereka yang memiliki ikatan darah dan daging dalam raga-jiwa kita. Mereka yang selalu menjadi ‘Rumah’ di manapun kita rindu kata pulang.
Ada orang-orang yang kita sebut teman, mereka yang sering mengabiskan waktu bersama di manapun kita menginjak tanah untuk sekedar ngopi bareng, sarapan, atau hal ringan seperti tertawa. Di sekolah, di kampus, bahkan di kantor.
Ada orang-orang yang kita sebut kekasih. Mereka yang katanya mau berbagi apapun bersama kita. Mereka yang mengasihi melimpahi kita cinta sebagai lawan jenis.
Tapi ada orang-orang yang sering kita sebut sahabat. Mereka tak memilki ikatan darah atau daging apapun dalam raga-jiwa kita. Tapi, bagi (seperti ku) mereka adalah keluarga dan teman bahkan kekasih. Mereka yang selalu menjadi ‘rumah singgah’ ketika kita tak bisa pulang ke Rumah kita. Mereka adalah orang-orang yang berada di baris terdepan saat mendukung kita, sekaligus orang-orang terdepan yang menentang ketika kita dalam posisi yang salah. Mereka ada tak sekedar untuk ngopi bareng, sarapan atau tertawa. Saling mengisi kala jiwa sepi sendiri. Mereka tak enggan hadir dalam duka dan membaginya. Mereka lebih dari itu. Cinta mereka tak sama dengan cinta seorang kekasih.
Suka memang tak selalu mengiringi langkah kita, banyak pula duka yang mampir untuk sekedar menyapa.
Friends + Good Time = the Best Memories.
Terima kasih telah ada, telah hadir.
Untuk kalian orang-orang yang pantas kusebut sahabat, terima kasih sudah menjadi rumah singgah. Perjalanan masih jauh Friends, semoga tetap seperti ini, menjadi keluarga, teman dan kekasih.


hidup '=' proses

Dalam hidup, kita tak hanya punya satu luka.
Sudahlah, bukankah hidup itu berproses. Mau tak mau kita harus berkawan dengan luka, seperti kita mau bercinta dengan suka. Rasanya enggan, tapi Harus. Dan bukankah proses hidup selalu seperti ini? Cinta menggoreskan luka, luka melahirkan benci, dan kemudian benci dibasuh kembali dengan maaf.
Maaf dan benci
Benci dan luka
Luka dan cinta
Selalu menjadi bingkai tangis dan tawa.
Begitulah hidup.
Sebuah proses tiada akhir hingga pada suatu ketika kita mati dan dimatikan-Nya.


-Faradika-

Rabu, 22 Mei 2013

Gunung dan Laut


Hanya ada dua Cerita yang ku tuliskan kisahnya. Gunung dan Laut.
Aku suka saja menyebut mereka begitu. Gunung dan Laut. (seperti lagu dari Payung Teduh)

Laut.
Mengajari jatuh.

Gunung.
Mengajari bangkit.

Laut.
Mengajari air mata.

Gunung.
Mengajari senyum.

Namun mengapa aku begitu jatuh pada Laut? semuanya terasa sulit ketika kita harus dihadapkan pada satu kata “penjelasan”. Laut punya sejarah yang lebih panjang dari pada Gunung. ombaknya selalu merayu, mengajak ku menyelam lebih dalam.
Namun bukan berarti Gunung tak memiliki kisahnya. Dia beda. dari awal sudah begitu. Aku selalu merasa ‘kecil’ dihadapanya, selalu merasa aku bukan siapa-siapa. 
Ironisnya, memang benar, aku bukan siapa-siapa Gunung.